Selasa, 11 Februari 2014

Teori Modernisasi (Geografi Pembangunan)



A.  Pengertian Modernisasi
Secara etimologis, ada beberapa tokoh yang mengajukan pendapat tentang makna modernisasi. Everett M. Rogers dalam “Modernization Among Peasants: The 10 Impact of Communication” menyatakan bahwa modernisasi merupakan proses dimana individu berubah dari cara hidup tradisional menuju gaya hidup lebih kompleks dan maju secara teknologis serta cepat berubah.
Cyril E. Black dalam “Dinamics of Modernization” berpendapat bahwa secara historis modernisasi adalah proses perkembangan lembaga-lembaga secara perlahan disesuaikan dengan perubahan fungsi secara cepat dan menimbulkan peningkatan yang belum pernah dicapai sebelumnya dalam hal pengetahuan manusia. Dengan pengetahuan tersebut, akan memungkinkan manusia untuk menguasai lingkungannya dan melakukan revolusi ilmiah.
Daniel Lerner dalam “The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East” menyatakan bahwa modernisasi merupakan suatu trend unilateral yang sekuler dalam mengarahkan cara-cara hidup dari tradisional menjadi partisipan. Marion Ievy dalam “Modernization and the Structure of Societies” juga menyatakan bahwa modernisasi adalah adanya penggunaan ukuran rasio sumberdaya kekuasaan, jika makin tinggi rasio tersebut, maka modernisasi akan semakin mungkin terjadi.
Dari beberapa definisi tersebut, modernisasi dapat dipahami sebagai sebuah upaya tindakan menuju perbaikan dari kondisi sebelumnya. Selain upaya, modernisasi juga berarti proses yang memiliki tahapan dan waktu tertentu dan terukur.
Sebagaimana sebuh teori, Modernisasi memiliki asumsi dasar yang menjadi pangkal hipotesisnya dalam menawarkan rekayasa pembangunan. Pertama, kemiskinan dipandang oleh Modernisasi sebagai masalah internal dalam sebuah negara (Arief Budiman, 2000:18). Kemiskinan dan problem pembangunan yang ada lebih merupakan akibat dari keterbelakangan dan kebodohan internal yang berada dalam sebuah negara, bukan merupakan problem yang dibawa oleh faktor dari luar negara.
Kedua, muara segala problem adalah kemiskinan, pembangunan berarti perang terhadap kemiskinan. Jika pembangunan ingin berhasil, maka yang pertama harus dilakukan adalah menghilangkan kemiskinan dari sebuah negara. Cara paling tepat menurut Modernisasi untuk menghilangkan kemiskinan adalah dengan ketersediaan modal untuk melakukan investasi. Semakin tinggi tingkat investasi di sebuah negara, maka secara otomatis, pembangunan telah berhasil, (Mansour Fakih, 2002:44-47).
Teori Modernisasi adalah teori pembangunan yang menyatakan bahwa pembangunan dapat dicapai melalui mengikuti proses pengembangan yang digunakan oleh negara-negara berkembang saat ini. Teori tindakan Talcott Parsons 'mendefinisikan kualitas yang membedakan "modern" dan "tradisional" masyarakat. Pendidikan dilihat sebagai kunci untuk menciptakan individu modern. Teknologi memainkan peran kunci dalam teori pembangunan karena diyakini bahwa teknologi ini dikembangkan dan diperkenalkan kepada negara-negara maju yang lebih rendah akan memacu pertumbuhan ekonomi. Salah satu faktor kunci dalam Teori Modernisasi adalah keyakinan bahwa pembangunan memerlukan bantuan dari negara-negara maju untuk membantu negara-negara berkembang untuk belajar dari perkembangan mereka. Dengan demikian, teori ini dibangun di atas teori bahwa ada kemungkinan untuk pengembangan yang sama dicapai antara negara maju dan dikembangkan lebih rendah.

B.  Sejarah Lahirnya Teori Modernisasi
Teori modernisasi lahir sebagai tanggapan ilmuwan sosial Barat terhadap Perang Dunia II. Teori ini muncul sebagai upaya Amerika untuk memenangkan perang ideologi melawan sosialisme yang pada waktu itu sedang populer. Bersamaan dengan itu, lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin bekas jajahan Eropa melatarbelakangi perkembangan teori ini. Negara adidaya melihat hal ini sebagai peluang untuk membantu Negara Dunia Ketiga sebagai upaya stabilitas ekonomi dan politik.
Di awal perumusannya tahun 1950-an, aliran modernisasi mencari bentuk teori dan mewarisi pemikiran-pemikiran dari teori evolusi dan fungsionalisme. Teori evolusi dan fungsionalisme pada waktu itu dianggap mampu menjelaskan proses peralihan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern di Eropa Barat, selain juga didukung oleh para pakar yang terdidik dalam alam pemikiran struktural-fungsionalisme.  Teori evolusi menggambarkan perkembangan masyarakat sebagai gerakan searah seperti garis lurus. Kita dapat melihatnya dalam karya-karya Spencer dan Comte.  Teori fungsionalisme dari Talcott Parsons beranggapan bahwa masyarakat tidak ubahnya seperti organ tubuh manusia yang memiliki berbagai bagian yang saling bergantung.
Selain itu, teori modernisasi pun didukung oleh tokoh-tokoh seperti Neil Smelser dengan teori diferensiasi strukturalnya. Smelser beranggapan dengan proses modernisasi, ketidakteraturan struktur masyarakat yang menjalankan berbagai berbagai fungsi sekaligus akan dibagi dalam substruktur untuk menjalankan satu fungsi yang lebih khusus. Sedangkan Rostow yang menyatakan bahwa ada lima tahapan pembangunan ekonomi. Ia merumuskannya ke dalam teori tahapan pertumbuhan ekonomi, yaitu tahap masyarakat tradisional, prakondisi lepas landas, lepas landas, bergerak ke kedewasaan, dan berakhir dengan tahap konsumsi massal yang tinggi. Di samping itu, ada beberapa varian teori modernisasi lain seperti Coleman dengan diferensiasi dan modernisasi politik-nya, Harrod-Domar yang menekankan penyediaan modal untuk investasi pembangunan, McClelland dengan teori need for Achievement (n-Ach)-nya, Weber dengan “Etika Protestan”-nya, Hoselitz yang membahas faktor-faktor nonekonomi yang ditinggalkan Rostow yang disebut faktor “kondisi lingkungan”, dan Inkeles yang mengemukakan ciri-ciri manusia modern.
Satu hal yang menonjol dari teori ini adalah modernisasi seolah-olah tidak memberikan celah terhadap unsur luar yang dianggap modern sebagai sumber kegagalan, namun lebih menekankan sebagai akibat dari dalam masyarakat itu sendiri. Alhasil faktor eksternal menjadi terabaikan. Teori modernisasi memberikan solusi, bahwa untuk membantu Dunia Ketiga termasuk kemiskinan, tidak saja diperlukan bantuan modal dari negara-negara maju, tetapi negara itu disarankan untuk meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional dan kemudian melembagakan demokrasi politik (Garna, 1999: 9).
Karena berpatokan dengan perkembangan di Barat, modernisasi diidentikkan dengan westernisasi. Teori ini pun kurang mampu menjawab kegagalan penerapannya di Amerika Latin, tidak memperhatikan kondisi obyektif masyarakat, sejarah dan tradisi lama yang masih berkembang di Negara Dunia Ketiga. Untuk menjawabnya, muncullah teori modernisasi baru. Bila dalam teori modernisasi klasik, tradisi dianggap sebagai penghalang pembangunan, dalam teori modernisasi baru, tradisi dipandang sebagai faktor positif pembangunan. Namun, tetap saja baik teori modernisasi klasik, maupun baru, melihat permasalahan pembangunan lebih banyak dari sudut kepentingan Amerika Serikat dan negara maju lainnya.
C.  Teori Modernisasi
Teori pembagian kerja secara Internasional yaitu didasarkan pada teori keuntungan komparatif yang dimiliki oleh setiap negara, mengakibatkan terjadinya spesialisasi produksi pada tiap-tiap negara sesuai dengan keuntungan komparatif yang mereka miliki. Oleh karena itu, secara umum, di dunia ini terdapat dua kelompok negara: Negara yang memproduksi hasil pertanian dan negara yang memproduksi bahan industri. Antara kedua kelompok negara ini terjadi hubungan dagang dan keduanya menurut teori di atas saling diuntungkan.
Tetapi setelah beberapa puluh tahun kemudian, negara-negara industri menjadi semakin kaya, sedangkan negara-negara pertanian semakin tertinggal neraca perdagangan antara kedua jenis negara ini selalu menguntungkan negara-negara yang mengkhususkan diri pada produksi barang industri.
Terhadap kenyataan ini, secara umum terdapat dua kelompok teori. Pertama. Teori-teori yang menjelaskan bahwa kemiskinan ini terutama disebabkan oleh faktor-faktor internal. Teori kelompok pertama ini dikenal dengan nama Teori Modernisasi. Kedua, teori-teori yang lebih banyak mempersoalkan faktor-faktor eksternal sebagai penyebab terjadinya kemiskinan di negara-negara tertentu. Kemiskinan dilihat terutama sebagai akibat dari bekerjanya kekuatan luar yang menyebabkan negara yang bersangkutan gagal melakukan pembangunannya. Teori-teori ini, yang masuk ke dalam kelompok teori struktural.
Teori yang tergolong ke dalam kelompok Teori Modernisasi sebagai berikut:
1.    Teori Harrod-Domar Tabungan dan Investasi
Salah satu teori ekonomi pembangunan yang sampai sekarang masih terus dipakai, meskipun sudah dikembangkan secara lebih canggih, adalah teori dari Evsey Domar dan Roy Harrod. Kedua ahli ekonomi ini, yang bekerja secara terpisah mencapai kesimpulan yang sama, yakni bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya tabungan dan investasi. Kalau tabungan dan investasi rendah, pertumbuhan ekonomi masyarakat atau negara tersebut juga akan rendah. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, tabungan dan invertasi ini kemudian dirumuskan dalam rumus Harrod-Domar yang sangat terkenal di kalangan para ahli ekonomi pembangunan.
Rumus pembangunan Harrod-Domar ini didasarkan pada asumsi bahwa, masalah  pembangunan pada dasarnya merupakan masalah menambahkan investasi modal. Masalah ketebalakangan adalah masalah kekurangam modal. Kalau ada modal, dan modal ini diinvestasikan, hasilnya adalah pembangunan ekonomi. Seperti yang dikatakan oleh Blomstrom dan Hettne.
Melihat perbedaan tang tampak antara negara-negara industri dan negara-negara yang sedang berkembang, dibuatlah usaha-usaha untuk menggambarkan tingkat dan macam-macam aspek dari keterbelakangan. Persoalan keterbelakangan kemudian dirumuskan sebagai masalah kekurangan, yakni kekurangan modal.
Modifikasi-modifikasi dari teori Harrod-domar memang terus terjadi. Tetapi prinsipnya sama yaitu kekurangan modal, tabungan dan investasi menjadi masalah utama pembangunan. Teori Harrod-Domar memang tidak mempersoalkan masalah manusia. Bagi kedua tokoh itu yang penting adalah menyediakan modal untuk investasi.

2.    Max Weber: Etika Protestan
Berbeda dengan Teori Harrod-Domar, teori Weber memepersoalkan maslah manusia yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya di sekitarnya, khususnya nilai-ilai agama. Max Weber adalah sosiologi Jerman yang dianggap sebagai bapak sosiologi modern. Dia membahas bermacam gejala kemasyarakatan, misalnya tentang perkembangan bangsa-bangsa di dunia, tentang kepemimpinan, tentang birokrasi, dan sebagainya. Salah satu topik yang penting bagi masalah pembangunan yang dibahas oleh Max Weber adalah tentang peran agama sebagai faktor yang menyebabkan munculnya kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pembahasan ini diterbitkan menjadi sebuah buku yang berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalisme.
Dalam bukunya Weber mencoba menjawab pertanyan, mengapa beberapa negara di Eropa dan Amerikan Serikat mengalami kemajuan ekonomi yang pesat dibawah sistem kapitalisme. Setelah melakukan analisis, Weber mencapai kesimpulan bahwa salah satu penyebab utamanya adalah apa yang disebut Etika Protestan.
Etika protestan lahir di Eropa melalui agama protestan yang di kembangkan oleh Celvin. Di sini muncul ajaran yang mengatakan bahwa seseorang itu sudah ditakdirkan sebelumnya untuk masuk ke surga atau neraka. Tetapi, orang yang bersangkutan tentu saja tidak mengetahuinya. Karena itu, mereka menjadi tidak tenang, menjadi cemas, karena ketidak jelasan nasib ini.
Salah satu cara untuk mengetahui apakah mereka akan masuk surga atan neraka adalah keberhasilan kerjanya di dunia yang sekarang ini. Kalau seseorang berhasil dalam kerjanya di dunia, hampir dapat dipastikan bahwa dia ditakdirkan untuk naik ke surga setelah dia mati nanti. Kalau kerjanya selalu gagal di dunia ini, hampir dapat dipastikan bahwa dia akan kerja ke neraka.
Adanya kepercayaan ini membuat orang-orang menganut agama protestan Calvin bekerja keras untuk meraih sukses. Mereka bekerja tanpa pamrih artinya mereka bekerja bukan untuk mencari kekeayaan material, melainkan terutama untuk mengatasi kecemasannya. Inilah yang disebut sebagai Etika Protestan oleh Weber, yakni cara bekerja keras dan sungguh-sungguh, lepas dari imbalan materialnya. (memang, orang ini kemudian menjadi kayak arena keberhasilnya, tetapi ini adalah produk sampingan yang tidak disengaja. Mereka bekerja keras sebagai pengabdian untuk agama mereka, bukan untuk mengumpulkan harta. Tetapi weber sendiri mengakui bahwa hal ini kemudian berubah jadi sebaliknya).
Etika atau protestan inilah yang menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa. Calvinisme kemudian menyebarkan di Amerika Serikat, dan di sana pun berkembang kapitalisme yang sukses. Studi Weber ini merupakan salah satu studi pertama yang meneliti hubungan antara agama dan pertumbuhan ekonomi. Kalau agama kita perluas menjadi kebudayaan, studi Weber ini menjadi perangsang utama bagi munculnya studi tentang aspek kebudayaan tentang pembangunan. Dalam melakukan penelitian tentang aspek kebudayaan ini, peran agama pun menjadi sangat penting sebagai salah satu nilai kemasyarakatan yang sangat berpengaruh terhadap warga masyarakat tersebut.
Sementara itu, istilah Etika Protestan menjadi sebuah konsep umum yang tidak dihubungkan lagi dengan agama Protestan itu sendiri. Etika Protestan menjadi sebuah nilai tentang kerja keras tanpa pamrih untuk mencapai sukses. Dia bisa ada di luar agama Prostestan, dapat menjelma menjadi nilai-nilai budaya di luar agama. Misalnya, salah seorang pengikut Weber Amerika Serikat, Robert Bellah, melakukan penelitian pada agama Tokugawa di Jepang. Dalam bukunya yang dikenal, Tokugawa Religion, dia menyatakan bahwa ada yang disebut sebagai etika protestan itu juga ada pala agama Tokugawa,. Karena itulah, Jepang berhasil membangun kapitalisme dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.


3.    David McClelland: Dorongan Berprestasi atau n-Ach
McClelland adalah seorang ahli psikologi sosial. Dia menjadi tertarik pada masalah pembangunan karena melihat adanya kemiskinan dan keterbelakangan pada banyak masyarakat di dunia ini. Apa gerangan yang meyebabkannya? Dalam sebuah tulisnannya McClelland bercerita
Saya selalu sangat terkesan pada analisis yang bijak tentang hubungan antara Protestanisme dan semangat kapitalisme yang dibuat oleh ahli sosiologi Jerman terkenal, Max Weber. Dia mengatakan bahwa sifat-sifat yang membedakan antara seorang wiraswasta Protestan dan pekerja biasa, terutama orang-orang protestan dari sekte yang saleh, bukanlah karena mereka telah berhasil membentuk lembaga-lembaga kapitalisme atau memiliki keterampilan yang prima, melainkan karena mereka mengerjakan pekerjaannya dengan semangat baru yang sempurna. Doktrin kaum Calvinis tentang nasib yang telah ditentukan sebelumnya telah memaksa mereka untuk memperhitungkan segala aspek kehidupan mereka secara rasional dan untuk bekerja keras guna membuat segala sesuatu sempurna, sesuai dengan posisi mereka di dunia ini, seperti yang sudah ditetapkan Tuhan.
Oleh karena itu, McClelland mengambil kesimpulan untuk membuat sebuah pekerjaan berhasil, yang paling penting adalah sikap terhadap pekerjaan tersebut.
Dari sini, McClelland tiba pada konsepnya yang terkenal yakni the need  for Achievement, kebutuhan atau dorongan untuk berprestasi, konsep ini disingkat dengan sebuah simbol yang kemudian menjadi sangat terkenal, yakni n-Ach. Seperti juga konsep Etika Protestan, keinginan, kebutuhan, atau dorongan untuk berprestasi ini tidak sekedar untuk meraih imbalan materi yang besar. Orang dengan n-Ach yang tinggi, yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi mengalami kepuasan bukan kerena mendapatkan imbalan dari hasil kerjanya, tetapi karena hasil kerja tersebut dianggapnya sangat baik. Ada kepuasan batin tersendiri kalau dia berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan sempurna. Imbalan material menjadi faktor sekunder. Dengan konsep n-Ach ini, kita liha pengaruh Max Weber terhadap McClelland.
Selanjutanya McClelland mengatakan bahwa kalau dalam sebuah masyarakat ada banyak orang yang memiliki n-Ach yang tinggi, dapat di harapkan masyarakat tersebut akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. McClelland kemudian melakukan sebuah penelitian sejarah. Dokumen-dokumen kesusastraan dari jaman Yunani Kuno seperti puisi, drama, pidato penguburan, surat yang ditulis oleh para nahkoda kapal, kisah epik, dan sebagainya, dipelajari. Karya-karya tersebut dinilai oleh para ahli yang netral, apakah di dalamnya terdapat semangat n-Ach kalau karangan tersebut menunjukkan optimism yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, tidak cepat menyerah itu berarti nilai n-Ach dianggap tinggi.
Dari data dan hasil penilaian ini ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi selalu didahului oleh nilai n-Ach yang tinggi dalam karya sastra yang ada ketika itu. Kalau karya-karya tersebut menunjukkan nilai n-Ach yang rendah, pertumbuhan ekonominya kemudian menunjukkan angka yang menurun.
Metode penelitian yang sama digunakan lagi untuk menganalisis pembangunan ekonomi di Spanyol pada abad ke-16. Di samping itu juga diterapkan pada dua gejala peningkat pertumbuhan ekonomi di Inggris yang pertama pada akhir abad ke-16, yang kedua pada permulaan Revolusi Industri sekitar tahun 1800-an. Hasilnya ternyata sama, yakni bahwa pertumbuhan ekonomi selalu didahului oleh karya-karya sastra yang mempunyai nilai n-Ach yang tinggi.
Dari kajian sejarah ini, McClelland tambah yakin bahwa adanya n-Ach yang tinggi dalam sebuah masyarakat akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat tersebut. McClelland kemudian mengambil cerita anak-anak sebagai bahan untuk mengukur n-Ach sebuah masyarakat modern. Alasannya, di semua negara selalu dapat dijumpai cerita anak yang diajarkan di sekolah atau diveritakan oleh orangtua mereka sebelum tidur. Juga, cerita anak-anak belum dipengaruhi oleh kepentingan politik, sehingga tampil secara lebih murni. Oleh karena itu, dikumpulkanlah sekitar 1300 cerita anak-anak yang beredar pada tahun 1925 dari 21 negara, dan dari yang beredar pada tahun 1950 dari 39 negara lainnya. Seperti juga sebelumnya, cerita-cerita ini diberi nilai oleh beberapa ahli berdasarkan criteria tinggi atau rendah nilai n-Achnya.
Hasilnya memang seperti yang diharapkan. Misalnya, korelasi antara tingkat n-Ach pada cerita anak-anak tahun 1925 dan pertumbuhan pemakaian listrik di negara tersebut antara tahun 1925 sampai tahun 1950, nilainya adalah 0,53. Secara statistik, nilai ini dianggap cukup tinggi. Jadi, hubungan ini jelas bukan kebetulan saja. Dengan demikian, memang dianggap terdapat korelasi antara tingkat n-Ach dengan keberhasilan pertumbuhan ekonomi. Ini dibuktikan lagi pada penelitian sejenis di negara-negera lain. McClelland kemudian berkesimpulan bahwa n-Ach ini seperti semacam virus yang bisa ditularkan. Jadi, n-Ach bukanlah sesuatu yang diwariskan sejak lahir. Oleh karena itu katanya:
Kalau n-Achievement begitu penting, terumata untuk dunia bisnis, dia harus ditingkatkan nilainya sehingga makin banyak anak muda yang memiliki “dorongan ke wiraswastaan.” Kesulitan dari rencana yang baik ini adalah bahwa cara yang paling baik untuk menumbuhkan n-Achievement ini adalah melalui keluarga dan sulit sekali untuk menumbuhkannya dalam skala yang besar.
Memang, McClelland menyelenggarakan bermacam latihan manajemen di berbagai negara untuk menumbuhkan n-Ach ini. Tetapi seperti yang dikatakannya, tempat yang paling baik untuk memupuk n-Ach adalah di dalam keluarga melalui orang tua.

4.    W.W. Rostow : Lima Tahap Pembangunan
Berbeda dengan kedua ahli sebelumnya, Rostow adalah seorang ahli ekonomi. Tetapi, perhatiannya tidak terbatas pada masalah ekonomi dalam arti sempit. Perhatiannya meluas sampai pada masalah sosiologi dalam proses pembangunan, meskipun titik berat analisisnya masih tetap pada maslah ekonomi.
Dalam bukunya yang terkenal, The Stages of Economic Growth, A Non-Communist Manifesto yang mula-mula terbit pada tahun 1960, dia menguraikan teorinya tentang proses pembangunan dalam sebuah masyarakat. Seperti juga para ahli ekonomi umumnya pada zaman itu, bagi Rostow pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni dari masyarakat yang terbelakang ke masyarakat yang maju. Proses ini, dengan berbagai variasinya, pada dasarnya berlangsung sama di mana pun dan kapan pun juga. Rostow membagi proses pembangunan ini menjadi lima tahap, yang akan kita paparkan secara singkat dibawah ini.
a.    Masyarakat Tradisional
Ilmu pengetahuan pada masyarakat ini masih belum banyak dikuasai. Oleh karena itu, masyarakat semacam ini  masih dikuasai oleh kepercayaan-kepercayaan tentang kekuasaan manusia. Manusia dengan demikian tunduk kepada alam, belum bisa menguasai alam. Akibatnya, produksi masih sangat terbatas. Masyarakat ini cendrung bersifat statis, dalam atri kemajuan berjalan dengan sangat lambat. Produksi dipakai untuk konsumsi tidak ada investasi. Pola dan tingkat kehidupan generasi kedua pada umumnya hamper sama dengan kehidupan generasi sebelumnya.
b.    Prakondisi untuk lepas landas
Masyarakat tradisional, meskipun sangat lambat, terus bergerak. Pada suatu titik, dia mencapai posisis prakondisi untuk lepas landas. Biasanya, keadaan ini terjadi karena adanya campur tangan dari luar, dari masyarakat yang sudah lebih maju. Perubahan ini tidak datang karena faktor-faktor internal masyarakat tersebut, karena pada dasarnya masyarakat tradisional tidak mampu untuk mengubah dirinya sendiri. Campur tangan dari luar, ini menggoncangkan masyarakat tradisional itu. Di dalamnya mulai berkembang ide pembaharuan. Ide-ide yang berkembang ini bukan sekedar pendapat yang menyatakan bahwa kemajuan ekonomi dapat dicapai, tetapi bahwa kemajuan ekonomi merupakan suatu kondisi yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan lain yang dianggap baik: kebesaran bangsa, keuntungan pribadi, kemakmuran umum, atau kehidupan yang lebih baik begi anak-anak mereka nantinya.
Misalnya. Seperti yang terjadi di Jepang, dengan dibukanya masyarakat ini oleh armada angkatan laut Amerika Serikat. Pada periode ini, usaha untuk meningkatkan tabungan masyarakat terjadi. Tabungan ini kemudian dipakai untuk melakukan investasi pada sektor-sektor produktif yang menguntungkan, termasuk misalnya pendidikan. Investasi ini dilakukan baik oleh perorangan maupun oleh negara. Sebuah negara nasional yang sentralistis juga terbentuk.
c.    Lepas landas
Periode ini ditandai dengan tersingkirnya hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang berjalan wajar, tanpa adanya hambatan yang berarti seperti ketika pada periode prakondisi untuk lepas landas. Pada periode ini, tabungan dan investasi yang efektif meningkat dari 5% menjadi 10% dari pendapatan nasional atau lebih. Juga industri-industri baru mulai berkembang dengan sangat pesat. Keuntungannya sebagian besar ditanamkan kembali ke pabrik yang baru. Sektor modern dari perekonomian dengan demikian juga berkembang.
Dalam pertanian, teknik-teknik baru juga tunbuh. Pertanian menjadi usaha komersial untuk mencari keuntungan, dan bukan sekedar untuk konsumsi. Peningkatan dalam produktivitas pertanian merupakan sesuatu yang penting dalam proses lepas landas, karena proses modernisasi masyarakat membutuhkan hasil pertanian yang banyak, supaya ongkos perubahan ini tidak terlalu mahal.
d.   Bergerak ke kedewasaan
Setelah lepas landas, akan terjadi proses kemajuan yang terus bergerak ke depan, meskipun kadang-kadang terjadi pasang surut. Antara 10% sampai 20% dari pendapatan nasional selalu diinvestasikan kembali, supaya bisa mengatasi persoalan pertambahan penduduk. Industri berkembang dengan pesat. Negara ini memantapkan posisinya dalam perekonomian global: barang-barang yang tadinya diimpor sekarang diproduksikan dalam negeri; impor baru menjadi kebutuhan, sementara ekspor barang-barang baru mengimbangi impor.
Sesudah 60 tahun sejak sebuah negara lepas landas (atau 40 tahun setelah periode lepas landas berakhir), tingkat kedewasaan biasanya tercapai. Perkembangan industri terjadi tidak saja meliputi teknik-teknik produksi, tetapi juga dalam aneka barang yang diproduksi.
e.    Zaman Konsumsi masal yang tinggi
Karena kenaikan pendapat masyarakat, konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup, tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih tinggi. Produksi industri juga berubah, dari kebutuhan dasar menjadi kebutuhan barang konsumsi yang tahan lama. Pada periode ini, investasi untuk meningkatkan produksi tidak lagi menjadi tujuan yang paling utama. Sesudah taraf kedewasaan di capai, surplus ekonomi akibat proses politik yang terjadi dialokasikan untuk kesejahteraan sosial dan penanaman dana sosial.
Teori Rosnow tentang lima tahap pertumbuhan ekonomi ini, seperti hal teori-teori modernisasi lainnya, didasarkan pada dikotomi masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Titik terpenting dalam gerak kemajuan dari masyarakat yang satu dengan yang lain adalah periode lepas landas. Rostow juga berbicara tentang keperluan akan adanya sekelompok wiraswastawan. Dia kemudian berbicara tentang kondisi-kondisi sosial yang melahirkan para wiraswastawan ini. Rostow menyebutkan dua kondisi sosial yaitu sebagai berikut:
1.      Adanya elit baru dalam masyarakat yang merasa diingkari haknya oleh masyarakat tradisional di mana dia hidup, untuk mendapatkan prestise dan mencapai kekuasan melalui cara-cara konvensional yang ada
2.      Masyarakat tradisional yang ada cukup fleksibel (atau lemah) untuk memperbolehkan warganya mencari kekayaan (atau kekuasan politik) sebagai jalan untuk menaikkan statusnya dalam masyarakat (biasanya hal ini dicapai melalui kepatuhan dan kesetiaan terhadap yang berkuasa),
Kelompok elit baru inilah yang akan menjadi tenaga pendorong untuk melakukan pembaruan. Elit baru ini merupakan kelompok orang yang frustrasi (dalam arti positif), karena tatanan sosial-politik yang ada tidak memberi kemungkinan untuk mengembangkan diri. Ini misalnya terjadi pada kelompok pedagang (cikal bakal dari kaum burjuasi di Zaman modern) di zaman feodal, atau orang-orang Yahudi di Eropa, atau orang-orang Cina di Asia Tenggara. Karena tidak bisa memajukan diri di jalur sosial-politik, mereka bergerak di bidang ekonomi dan kemudian mendapatkan tempat terhormat, karena keberhasilnya mengumpulkan kekayaan.
Dalam membahas masalah lepas landas pun, Rostow berbicara tenyang aspek-aspek non-ekonomi ini. Baginya lepas landas harus memenuhi semua dari ketiga kondisi yang saling berkaitan ini yakni:
a)    Meningkatnya investasi di sektor produktif dari (katakanlah) 5% (atau kurang) menjadi 10% (atau lebih) dari pendapatan nasional
b)   Tumbuhnya satu atau lebih sektor industri manufaktur yang penting dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi
c)    Adanya atau munculnya secara cepat lembaga-lembaga politik dan sosial yang bisa memanfaatkan berbagai dorongan gerak ekspansi dari sektor ekonomi modern dan akibat yang mungkin terjadi dengan adanya kekuatan-kekuatan ekonomi dari luar sebagai hasil dari lepas landas, disamping itu lembaga-lembaga ini kemudian bisa membuat pertumbuhan menjadi sebuah proses yang berkesinambungan.
Kondisi ketiga merupakan kondisi non-ekonomi yang penting. Tetapi, Rostow memang masih mengutamakan peran ekonomi dari lembaga-lembaga tersebut. Katanya:
Kondisi ketiga menunjuk kepada kesanggupan yang cukup (dari lembaga-lembaga ini) untuk mengumpulkan modal dari sumber-sumber dalam negeri.... prakondisi untuk lepas landas memerlukan kesanggupan awal untuk menggerakkan tabungan dalam negeri secara produktif, dan juga menciptakan sebuah struktur yang memungkinkan tingkat tabungan yang cukup tinggi.
Yang dimaksud oleh Rostow misalnya adalah negara yang melindungi kepentingan para wiraswastawan untuk melakukan akumulasi modal. Atau memberikan iklim politik yang menguntungkan bagi para industriawan, atau orang asing untuk menanamkan modalnya. Memang, fungsi dari lembaga-lembaga non-ekonomi ini adalah untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.

5.    Bert F. Hoselitz: faktor-faktor ekonomi
Hoselitz membahas faktor-faktor Non-ekonomi yang ditinggalkan oleh rostow dalam karyanya yang terkenal, yang diberi judul “Economic Growth and development: non economic faktor in economic development”. Faktor non economi ini disebut oleh hoselitz sebagai faktor kondisi lingkungan, yang dianggap penting dalam proses pembangunan. Persoalan yang ditanyakan oleh Hoselitz adalah: nyatanya rostow membuat perbedaan tingkat investasi (yakni ratio antara pembentukan modal neto terhadap produksi nasional neto), lepas landas dan sedang memasuki tahap revolusi industri.
Selanjutnya, hoselitz mengatakan: “kondisi lingkungan ini harus dicari terutama dalam aspek-aspek non-ekonomi dari masyarakat. Dengan kata lain, lepas dari pengembangan modal seperti pembangunan sarana sistem telekomunikasi serta transportasi dan investasi dalam fasilitas pelabuhan, pergudangan, dan instlasi-instalasi sejenis untuk perdagangan luar negeri, banyak dari pembaruan-pembaruan yang terjadi pada periode persiapannya didasarkan pada perubahan-perubahan pengaturan kelembagaan yang terjadi dalam bidang hukum, pendidikan, keluarga dan motivasi”.
Hoselitz menamakan perubahan kelembagaan yang akan mendukung proses lepas landas ini sebagai “hadiah dari masa lampau,” yang sangat penting artinya. Selanjutnya hoselitz menekankan bahwa meskipun seringkali orang menunjukkan bahwa masalah utama pembangunan adalah kekurangan modal (teori Harrod Domar), ada masalah lain yang juga sangat penting, yakni adanya keterampilan kerja tertentu, termasuk tenaga wiraswasta yang tangguh. Karena itu dibutuhkan perubahan kelembagaan pada masa sebelum lepas landas, yang akan mempengaruhi pemasokkan modal, supaya modal ini bisa menjadi produktif. Oleh karena itu, bagi Hoselitz pembangunan membutuhkan pemasokkan dari beberapa unsur:
a.    Pemasokkan modal besar dan perbankan
Pemasokkan modal dalam jumlah yang besar ini, seperti yang diuraikan oleh  rostow membutuhkan lembaga-lembaga yang bisa menggerakkan tabungan masyarakat dan menyalurkan kegiatan yang produktif. Hoselitz menyebutkan lembaga perbankan yang efektif. Pengalaman dari  Negara-negara eropa ketika menjalankan proses lepas landas menunjukkan pentingnya lembaga-lembaga perbankkan. Tanpa lembaga-lembaga seperti ini, modal besar yang ada sulit dikumpulkan sehingga bisa menjadi sia-sia dan tidak menghasilkan pembangunan. Hoselitz menunjukkan pengalaman di cina pada abad ke-19. Sebagai akibat dari korupsi pejabat Negara, surplus ekonomi yang terjdi menjadi sia-sia, karena ditanamkan pada pembelian tanah, atau dipakai untuk mengkonsumsikan barang-barang mewah.

b.    Pemasokkan Tenaga Ahli dan Terampil
Tenaga yang dimaksud adalah tenaga kewirwastaan, administrator professional, insinyur, ahli ilmu pengetahuan, dan tenaga manajerial yang tangguh. Disamping itu juga disebutkan juga perkembangan teknologi dan sains harus sudah melembaga sebelum masyarakat tersebut melakukan lepas landas. Inilah yang menjadi pengalaman di Negara-negara eropa, semua hal ini sudah tersedia sebelum lepas landas.
Kemudian hoselitz membicarakan lebih jauh tentang tenaga wiraswasta. Supaya orang-orang ini muncul, diperlukan sebuah masyarakat dengan kebudayaan tertentu. Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan yang beranggapan bahwa mencari kebudayaan bukan merupakan hal yang buruk. Kalau nilai-nilai budaya semacam ini tidak ada, akan sulit sekali jiwa kewiraswastaan muncul. Misalnya, dimasyarakat yang dikuasai oleh para panglima perang, para pendeta, atau para birokrat pemerintah, budaya dan nilai-nilai yang mendorong orang melakukan akumulasi modal sulit tumbuh dengan subur.
Masih sehubungan dengan masalah munculnya kaum wiraswasta, Hoselitz kemudian membahas adanya sekelompok minoritas yang disingkirkan oleh masyarakat. Kelompok marjinal ini mengalami proses anomie atau kehilangan pegangan nilai. Mereka seringkali mencari jalan lain untuk mengangkat harga diri dan status mereka. Biasanya caranya adalah dengan mencari kekayaan. Mereka menjadi kelompok kaum borjuis, yang kemudian menantang tata masyarakat yang lama.
                 
6.    Alex Inkeles dan David H. Smith: manusia modern
Alex inkeles dan David Smith pada dasarnya juga berbicara tentang pentingnya faktor manusia sebagai komponen penting penopang pembangunan. Pembangunan bukan sekedar perkara pemasokan modal dan teknologi saja. Tetapi di butuhkan manusia yang dapat mengembangkan sarana material tersebut supaya menjadi produktif. Untuk ini, dibutuhkan apa yang disebut oleh inkeles sebagai manusia modern.
Dalam buku mereka yang terkenal. Becoming modern, kedua tokoh itu mencoba memberikan cirri-ciri dari manusia yang dimaksud, yang antara lain meliputi hal-hal seperti keterbukaan terhadap pengalaman dan ide baru, berorientasi ke masa sekarang dan masa depan, punya kesanggupan merencanakan, percaya bahwa manusia bisa menguasai alam dan bukan sebaliknya, dan sebagainya. Dalam hal ini inkeles dan smith tidak berbeda dengan weber dengan konsep etika protestanya, atau Mc Clelland dengan konsep n-Achnya. Bedanya inkeles dan smith menguraikannya secara lebih rinci dan menguji konsep-konsep ini dalam sebuah penelitian empiris yang meliputi penduduk di enam negara berkembang.
Hal lebih penting dari teori inkeles dan Smith tentang proses pembentukan manusia modern. Pertama-tama mereka menyatakan: “kami ang beranggapan bahwa bagaimanapun juga manusia bisa diubah secara mendasar setelah dia menjadi dewasa, dan karena itu tak ada manusia yang tetap menjadi manusia tradisional dalam pandangan dan kepribadiannya hanya karena ia dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang tradisional”.
Dari hasil penelitiannya, inkeles dan Smith menjumpai bahwa memang pendidikan adalah yang paling efektif  untuk mengubah manusia. Dampak pendidikan tiga kali lebih kuat dibandingkan dengan usaha-usaha lainya kemudian pengalaman kerja dan pengenalan terhadap media massa merupakan cara kedua yang efektif. penemuan ini mendukung pendapat Daniel lerner yang menekankan pentingnya media masa mendorong proses modernisasi.
Inkeles dan smith kemudian menekankan faktor pengalaman kerja, terutama pengalaman kerja di pabrik sebagai faktor yang berperan besar dalam mengubah manusia tradisional menjadi modern, dengan kata lain manusia tradisional dapat diubah menjadi manusia modern , bila dia diterjunkan kedalam lembaga-lembaga kerja yang modern, seorang yang bekerja dipabrik misalnya dipaksa untuk bekerja menempati waktu, untuk membuat perencanaan, untuk bekerja sama dengan orang lain, dan sebagainya. Dalam penelitiannya, inkeles dan Smith menemukan bahwa seorang manusia tradisional yang diterjunkan ke lembaga modern bukan saja bisa melakukan adaptasi yang cepat, tetapi dia juga menyerap nilai-nilai kerja ini kedalam kepribadiannya dan mengekspresikannya kembali kedalam sikap, nilai dan tingkah lakunya.
Untuk menjelaskan hal ini, inkeles dan smith mengambil teori karl max. marx menyatakan bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh lingkungan materialnya. Hubungan manusia dengan alat produksinya memberi bentuk dan isi pada kesadarannya. Pendapat ini tampaknya dibenarkan oleh hasil penelitian Inkeles dan Smith, dimana manusia tradisional berubah menjadi manusia modern karena bekerja pada lembaga-lembaga kerja yang modern, serperti misalnya dipabrik-pabrik.
Bahkan kedua peneliti ini menemukan bahwa perbedaan etnis dan perbedaan agama, yang dianggap sebagai faktor penting dalam mengubah tingkah laku manusia oleh para ahli ilmu sosial yang menekankan faktor kebudayaan, ternyata kurang berperan penting dalam pembentukan manusia modern.

D.  Hubungan Teori Modernisasi dengan Pembangunnan
Perkembangan dunia yang kian pesat turut mempengaruhi tingkat daya saing setiap Negara dalam segala bidang untuk bersaing satu sama lain guna melakukan pembangunan nasional secara cepat dan berkesinambungan (sustainable development). Kemampuan Negara untuk melakukan pembangunan secara keseluruhan akan turut menentukan posisinya dipercaturan dunia internasional. Setiap Negara yang berhasil melakukan pembangunan akan sangat dipertimbangakan dan memiliki peranan penting baik secara regional maupun internasional. Misalnya Cina dan India merupakan negara yang secara perlahan melakukan pembangunan dan terbukti mulai memiliki peranan yang cukup penting dalam mengendalikan laju perekonomian negara-negara di Asia. Namun, kemajuan yang sekarang ini dinikmati oleh Cina dan India belum sepenuhnya mencapai pembangunan yang berhasil (baru memasuki pembangunan tahap awal) karena keduanya belum mampu memenuhi beberapa indikator pembangunan lainnya.
Model/strategi pembangunan yang pasca Perang Dunia II sampai sekarang masih menjadi sorotan dan menjadi topik perbincangan kalangan akademisi yakni model pembangunan nasional (national building) di Negara-negara dunia ketiga. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan manusia (Portes 1976). Perubahan yang direncanakan dalam pembangunan mencakup seluruh sistem sosial masyarakat mulai dari ekonomi, politik, infrastruktur, pertahanan, pendidikan, teknologi, kesehatan. Perubahan dalam sistem ekonomi misalnya terjadinya peningkatan kualitas dan kuantitas produksi, perubahan basis ekonomi dari importir menjadi eksportir (produksi berbasis pada ekspor), peningkatan penerimaan devisa dari seluruh aktivitas ekonomi,dll. Dari aspek politik, pembangunan biasanya ditandai dengan adanya stabilitas politik dalam negeri. Sedangkan pembangunan pada aspek pertahanan diindikasikan dengan terjaminnya keamanan nasional. Adapun beberapa indikator pembangunan yang banyak digunakan oleh lembaga-lembaga internasional, diantaranya; Kekayaan Rata-rata (GDP dan GNP, Perkapita), Distribusi pendapatan (pemerataan), kualitas kehidupan, kerusakan lingkungan dan keadilan sosial dan berkesinambuangan.
Ada beberapa Negara di kawasan Amerika Utara, Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa Barat yang melakukan pembangunan nasional dengan mengadopsi teori modernisasi. Dengan karakteristik nasional yang berbeda-beda menggunakan satu model yakni modernisasi tentunya akan menghasilnya  hasil yang berbeda pula. Negara-negara di Kawasan Amerika Utara dan Eropa Barat telah berhasil melakukan pembangunan secara evolusi pada abad ke 18 dengan model/konsep pembangunan yang sama (konsep modernisasi).
Pada perkembangannya kemudian, keberhasilan pembangunan yang diterapkan pada negara-negara di Eropa ini memberikan pemikiran lanjut untuk melakukan ekspansi pasar ke negara-negara dunia Ketiga, dan banyak memberikan bantuan untuk pembangunannya; dalam kenyataannya, keberhasilan yang pernah diterapkan di Eropa, ternyata banyak mengalami kegagalan di negara-negara dunia Ketiga. Kemudian, mereka mencoba memberikan beberapa alternatif pemecahan masalah berdasarkan cara pandang mereka. Adapun asumsi dasar teori modernisasi seperti yang terlihat ada table di bawah ini.

Asumsi Tentang
Uraian
Pola sejarah perekonomian dunia
1)   Kemiskinan dunian terjadi sejak tiga abad yang lalu;
2)   Revolusi industri telah menciptakan Negara-negara kaya di dunia pertama (Eropa Barat dan Amerika Utara);
3)  Industrialisasi akan merambat ke Negara-negara dunia ketiga, melalui proses difusi;
4)   Semua masyarakat di dunia pada akhirnya akan mencapai kemakmuran
Sumber penyebab kemiskinan global
Karakteristik bangsa-bangsa di dunia ketiga yang telah menciptakan kemiskinan seperti:
1)  Tidak memiliki modal untuk industrialisasidan investasi di sector ekonomi modern.
2)   Tidak punya teknologi untuk industrialisasi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
3)   Pola budaya tradisional yang menghambat etos kerja,kreativitas dan inovasi
4)  Angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk yang tinggi
Peranan Negara-negara kaya dalam ekonomi global
Negara-negaar kaya dapat membantu Negara-negara miskin melalui:
1)   Program pengendalian angka kelahihan/keluarga berencana;
2)   Transfer teknologi dan bantuan pendidikan untuk meningkatkan produksi pangan dan industrialisasi
3)   Investasi melalui penanaman modal asing (PMA)
4)   Bantuan dana/ hutang luar negeri
 

Dengan melihat asumsi dasar tentang penyebab kemiskinan di dunia ketiga seperti pada tabel diatas maka, para ahli seperti W.W.Rostow mengemukakan beberapa solusi untuk menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi. Salah satu solusi yang dikemukakan oleh Rostow yakni Negara-negara berkembang memerlukan bantuan investasi dari Negara-negara kaya (melaui PMA). Di samping itu, untuk investasi dalam negeri, Negara berkembang memerlukan bantuan dalam bentuk hutang luar negeri, selain bantuan teknologi, peningkatan tingkat pendidikan dan penurunan angka kelahiran. Strategi  industrialisasi diarahkan kepada produksi barang-barang subtitusi impor pada tahap awal, kemudian disusul oleh produksi berorientasi ekspor.
 Adapun kebijakan, model, dan strategi pembangunan nasional menurut teori modernisasi (ekonomi makro) itu sendiri. secara spesifik, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Kebijakan, Model dan Strategi Pembangunan Nasional Menurut Teori Modernisasi
Aspek Pembangunan
Langkah-Langkah yang Ditempuh
Kebijakan
1)  Pembangunan ekonomi pada skala makro (investasi besar untuk penyerapan angkatan kerja)
2)  Menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional melalui Penanaman Modal Asing (PMA) dan bantuan dana/hutang luar negeri
Model
1)  Hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi (PDB/GNP) dengan hutang luar negeri,PMA,Penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan pembangunan infrasturktur ekonomi makro
Strategi
1)  Menurunkan angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk, agar pertumbuhan ekonomi meningkat
2)  Industrialisasi melalui PMA
3)  Menerima hutang luar negeri untuk investasi dalam negeri agar tercipta trickle-down effect
4)  Mengembangkan industry subtitudi impor, untuk mengurangi ketergantungan kepada impor barang konsumsi (defensif)
5)  Membangaun industri berorientasi ekspor untk memperoleh devisa (ofensif)
6)  Membangun infrastruktur ekonomi
 
Meskipun kebijakan, model dan strategi pembangunan nasional diatas telah di adopsi sepenuhnya oleh Negara-negara dunia ketiga lainnya namun, pada kenyataannya tidak semua Negara berhasil melakukan pembangunan nasionalnya. Cenderung setelah menerapkan kebijakan tersebut seperti menerima Penanaman Modal Asing (PMA) secara besar-besaran dan menerima bantuan luar berupa hutang luar negeri, Negara justru mengamalami “ketergantungan abadi” pada Negara donatur. Begitu pun dengan penerapan kebijakan,model, dan strategi lainnya yang juga tidak efektif dalam mendorong pembangunan nasional.
   Kegagalan Negara-negara dunia ketiga menerapkan model, strategi dan kebijakan di atas lebih disebabkan oleh faktor internal masing-masing Negara. Dalam artian bahwa berhasil tidaknya pembangunan dalam suatu Negara sangat tergantung pada faktor internal. David Mc Clelland salah satu ahli yang mengusulkan konsep need of achievement (n-ach) atau kebutuhan untuk berprestasi. Teori ini mengatakan bahwa proses pembangunan berarti membentuk manusia yang berjiwa wiraswasta dengan jiwa n-ach yang tinggi. Berarti bahwa pembangunan suatu Negara sangat tergantung pada manusia/masyarakat dalam Negara itu sendiri. Teori Harrold-Domar, masih menyoroti masalah internal yang dapat menyokong pembangunan suatu Negara. Teori ini menyatakan bahwa pembangunan hanya dapat berlangsung dengan baik bilamana tingkat tabungan masyarakat maupun devisa Negara cukup untuk melakukan pembangunan. Teori yang paling klasik yakni teori Max Weber. Teori ini menekankan nilai-nilai budaya yang bisa memberikan etos kerja yang tinggi. Max Weber berbicara masalah tentang peran agama, terutama konsepnya yang sudah menjadi klasik, yakni etika protestanisme. Menurutnya hal inilah yang membawa masyarakat Eropa Barat dan Amerika Serikat pada kemajuan. Ketersediaan tenaga ahli dan terampil Bert F. Hoselitz dalam karyanya,“Economic Growth and Development: Noneconomic Factors in Economic Development” merupakan salah satu faktor penting yang dibutuhkan dalam pembangunan.

sumber:

Kumpulan Bahan Ajar Geografi Pembangunan
Wahyu. 2011. “ Teori Modernisasi”. http://wahyubraveadministrator.blogspot.com/2011/01/teori-modernisasi.html. Diakses pada 03 Oktober 2013.
Kengkongan. 2013. “ Pembangunan dan Teori Modernisasi”. http://kengkongan.blogspot.com/2013/03/pembangunan-dan-teori-modernisasi_27.html. Diakses pada 03 Oktober 2013.
Purnama, Bagus. 2012. “Teori Pembangunan”. http://bagusspurnama.blogspot.com/2012/07/teori-teori-pembangunan-dalam.html. Diakses pada 03 Oktober 2013.