A. Pengertian
Pilar Pendidikan
Menurut
Prof. Herman H. Horn, Pendidikan
adalah proses abadi dari penyesuaian lebih tinggi bagi makhluk yang telah
berkembang secara fisik
dan mental yang bebas dan sadar kepada Tuhan seperti termanifestasikan dalam
alam sekitar, intelektual, emosional dan kemauan dari manusia. Sedangkan menurut Prof. Dr. John
Dewey, pendidikan
adalah suatu proses pengalaman.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Pendidikan
diartikan sebagai proses pembelajaran bagi individu untuk mencapai pengetahuan
dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai objek-objek tertentu dan spesifik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pilar artinya
tiang penguat (dari batu, beton). Selain itu, Pilar juga diartikan sebagai
dasar, Induk, dan pokok. Pilar Pendidikan adalah sebagai dasar atau pokok untuk
mencapai pengetahuan dan pemahaman bagi individu secara fisik dan mental yang bebas dan sadar
kepada Tuhan.
B. Jenis-Jenis
Pilar Pendidikan
Dalam upaya
meningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain kecuali melalui
peningkatan mutu pendidikan. Berangkat dari pemikiran itu, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United Nations, Educational,
Scientific and Cultural Organization) mencanangkan lima pilar pendidikan baik untuk masa
sekarang maupun masa depan.
a. Learning
to know
Pendidikan pada hakikatnya merupakan
usaha untuk mencari agar mengetahui informasi yang dibutuhkan dan berguna bagi
kehidupan. Belajar untuk mengetahui (learning
to know), berkaitan dengan perolehan, penguasaan dan
pemanfaatan pengetahuan. Belajar untuk mengetahui oleh UNESCO dipahami sebagai
cara dan tujuan dari eksistensi manusia. Hal ini sesuai dengan penegasan
Jacques Delors (1966) sebagai ketua komisi penyusun laporan Learning:
The Treasure Within, yang
menyatakan adanya dua manfaat pengetahuan, yaitu pengetahuan sebagai cara (Means) dan pengetahuan sebagai hasil
atau tujuan (End).
Belajar untuk mengetahui berimplikasi terhadap
diakomodasikannya konsep belajar tentang bagaimana belajar (Learning how to Learn), dengan
mengembangkan seluruh potensi konsentrasi pembelajar, keterampilan mengingat
dan kecakapan untuk berpikir. Sesuai fitrahnya, sejak bayi, anak kecil harus
belajar bagaimana berkonsentrasi terhadap suatu objek dan orang-orang lain.
Pengembangan keterampilan mengingat adalah suatu
wahana yang unggul untuk menanggulangi aliran yang berlimpah dari informasi
instan yang disebarluaskan oleh banyak media pada saat ini. Berbahaya jika kita
berkesimpulan bahwa arus informasi yang luar biasa banyaknya ini tidak perlu
ditanggulangi dengan peningkatan keterampilan dalam mengingat. Kecakapan
manusia dalam memorisasi ini tidak boleh direduksi semata oleh hadirnya proses
automatisasi, tetapi harus selalu dikembangkan secara hati-hati.
Sementara itu, berpikir terkait sesuatu yang
dipelajari anak, mula-mula dari orang tuanya, kemudian dari para gurunya.
Proses berpikir ini harus terkait dengan keterampilan menguasai penyelesaian
masalah praktis maupun pengembangan pemikiran abstrak. Oleh sebab itu, pembelajaran sebagai praktik pendidikan harus
mampu memandu siswa untuk menguasai secara sinergis penalaran deduktif
sekaligus penalaran induktif.
Belajar untuk berpikir merupakan pembelajaran
sepanjang hayat, seseorang yang selalu siap belajar untuk berpikir, selama
hidupnya tidak akan mengalami kebosanan karena menghadapi keniscayaan
rutinitas.
b. Learning
to do
Konsep learning
to do terkait bagaimana kita mengadaptasikan pendidikan sehingga mampu
membekali siswa bekerja untuk mengisi berbagai jenis lowongan pekerjaan di masa
depan?. Dalam hal ini pendidikan diharapkan mampu menyiapkan siswa berkaitan
dengan dua hal. Pertama, berhubungan
dengan ekonomi industri, dimana para pekerja memperoleh upah dari pekerjaannya.
Kedua, suatu usaha yang kita kenal
sebagai wirausaha, para lulusan sekolah menyiapkan jenis pekerjaannya sendiri
dan menggaji dirinya sendiri (Self
Employment). Suatu hal yang patut dicatat dan diimplikasikan dengan baik
dalam kurikulum pembelajaran di sekolah, sejak paruh kedua abad ke-20 yang lalu
telah ada pergeseran besar dalam dunia industri. Jika dulu lebih berfokus
kepada pekerjaan fisik di lingkungan manufaktur, maka saat ini justru yang
banyak berkembang yaitu layanan jasa. Pekerjaan ini semakin dibutuhkan dengan
berkembang pesatnya teknologi komunikasi dan informasi. Hal ini berarti, Pendidikan membekali manusia tidak
sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat atau
mengerjakan sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.
Belajar untuk bekerja, Learning to do adalah belajar atau berlatih menguasai keterampilan
dan kompetensi kerja. Pada perkembangannya, Dunia Usaha/Dunia Industri menuntut
agar setelah lulus, para siswa pembelajar siap memasuki lapangan kerja,
sehingga seharusnya ada link and match
antara sekolah dengan dunia usaha. Maknanya, sekolah wajib menyiapkan berbagai
keterampilan dasar yang diperlukan untuk siap bekerja. Keterampilan dan
kompetensi kerja yang harus dikuasai siswa, sejalan dengan tuntutan
perkembangan dunia industri yang semakin tinggi., tidak sekedar pada tingkat
keterampilan kompetensi teknis bahkan sampai dengan kompetensi profesional.
Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar seyogjanya
memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki,
serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” (belajar untuk melakukan
sesuatu) dapat terealisasi. Walau sesungguhnya bakat dan minat anak dipengaruhi
faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung
pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama bahwa keterampilan merupakan
sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan
daripada penguasaan pengetahuan semata.
c. Learning
to be
Belajar untuk menjadi manusia yang utuh (Learning to be), mengharuskan tujuan
belajar dirancang dan diimplementasikan sedemikian rupa sehingga pembelajar
menjadi manusia yang utuh. Manusia yang utuh adalah manusia yang seluruh aspek
kepribadiannya berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek ketakwaan
terhadap Tuhan, intelektual, emosi, sosial, fisik, maupun moral. Seimbang dalam
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan
spritualnya. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan individu-individu yang
banyak belajar dalam mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Dalam kaitan
itu mereka harus berusaha banyak meraih keunggulan (Being Excellnce).
Keunggulan diperkuat dan ditunjang oleh moral yang
kuat (being Morality). Moral yang
kuat wajib ditunjang oleh keimanan inilah yang diharapkan mampu memandu
pembelajar untuk belajar menghargai orang lain.
Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan
bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be). Hali ini erat sekali
kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi
anak serta kondisi lingkungannya. Misal: bagi siswa yang agresif, akan
menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan
sebaliknya bagi siswa yang pasif, peran guru sebagai kompas penunjuk arah
sekaligus menjadi fasilitator sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan
potensi diri siswa secara utuh dan maksimal.
Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses
pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan
norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang
berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapaian aktualisasi diri.
d. Learning
to live together
Belajar untuk hidup bersama, (Learning to live together) mengisyaratkan keniscayaan interaksi
berbagai kelompok dan golongan dalam kehidupan global yang dirasakan semakin
menyempit akibat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Komunikasi antar
manusia di antara kedua belahan dunia kini sudah dalam hitungan detik. Agar
dapat berinteraksi, berkomunikasi, saling berbagi, bekerja sama dan hidup
bersama, saling menghargai dalam kesetaraan, sejak kecil anak-anak sudah harus
dilatih, dibiasakan hidup berdampingan bersama. Anak-anak harus banyak belajar
dari hidup bersama secara damai, apalagi di alam Indonesia yang multikultur dan
multietnik sehingga mereka biasa bersosialisasi sejak awal (Being Sociable).
Pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama,
saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah.
Kondisi seperti inilah yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling pengertian
antar ras, suku, dan agama.
Dengan kemampuan yang dimiliki, sebagai hasil dari proses
pendidikan, dapat dijadikan sebagai bekal untuk mampu berperan dalam lingkungan
di mana individu tersebut berada, dan sekaligus mampu menempatkan diri sesuai
dengan perannya. Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok
belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning to live together). Untuk itu semua, pendidikan di
Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan
profesional serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia
Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat
Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia.
e. Learning
to believe in God
Belajar Untuk Beriman Kepada Tuhan Yang
Maha Esa (Learning To Believe in God), berdasarkan dengan teologi bahwa faktanya, Tuhan
Yang Maha Esa menciptakan
manusia lengkap dengan berbagai potensi yang diberikan kepadanya, termasuk
potensi kemauan dan kehendak diri serta kemampuan memilih dan berupaya untuk
mandiri. Dengan dua potensi itu, manusia diberi ruang sepenuhnya guna
memutuskan dan bersikap. Termasuk dalam memilih untuk beriman atau tidak.
DAFTAR
PUSTAKA
Suyono & Hariyanto.
2012. Belajar dan Pembelajaran.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Mulana,
Dayan. 2010. “Empat Pilar Pendidikan”. http://dayanmaulana.blogspot.com/2010/06/empat-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html.
Diakses pada 27 Februari 2014